Si Mbok

'Mboook….', betapa hatiku ber bunga2 meloncat kegirangan melihat si mbok yang duduk selonjor di lantai pekarangan rumah mungilnya, santai sembari ngobrol dengan para tetangga sesama pengupas melinjo.....


Besek dan tatakan seadanya berserakan di sana sini, masing2 berisi buah utuh, yang sudah terkupas, dan kulitnya. Kuperhatikan jari jemari si mbok melepuh terkikis getah kulit melinjo.....

ya, itulah mata pencahariannya semenjak pulang kampung halaman 10 tahun lalu.....


Mereka kakak beradik mbok inang yang momong kami sejak aku lahir sebagai anak ke 3 dari 4 bersaudara, ku ingat si mbok selalu ada di sampingku, sejak pagi membuka mata sampai tidur malam.

Seiring kami menjadi dewasa, mereka membantu menyelesaikan keperluan rumah tangga di rumah, teman ngobrol berbagi cerita suka dan duka, menjadi bagian keluarga, sampai kami semua keluar rumah, bekerja di lain kota dan menikah,  punya keluarga masing2.

Si mbok pun semakin sepuh dan mungkin merasa tidak dibutuhkan lagi di rumah, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman nya di Bantul, Yogyakarta, dekat dengan sanak saudaranya.

kesepiankah kau mbok?..... tanpa kami anak anak yang biasa merepotkan mu 

Membekas di ingatan, betapa bahagia si mbok menyambutku datang ke rumah orang tuaku dari luar kota tempat aku bekerja. Makanan minuman, jajanan pasar favorit sudah pasti tersedia, menikmati makan bersama, ngobrol ngalor ngidul berbagi tawa melepas rindu, dan tak lupa, ketika waktu berangkat kembali, selalu kutitipkan ‘sangu’ (= bekal; dalam hal ini kutitipkan uang) untuk jajan si mbok..... dan si mbok pun selalu tak lupa;

"neng, iki digowo, cuma sitik"..... (  = neng, ini dibawa, hanya sedikit )
 "opo tah mbok, ora usah"     (  = apa toh mbok, tidak usah )
 ' ora opo2, nggo sangu neng, mbok rak iso nggowoni opo2, cuma iki tok"
(= ndak apa2, buat bekal neng, mbok ndak bisa bawakan apa2, hanya ini saja)
'dongane wae toh mbok" ( = doakan saja toh mbok )
"pasti".....

…. 1 dus bekas mie instant, penuh berisi teh, kopi, gula, dan biscuit..... duh mbok.....

Setiap tahun 2x kami ke Yogyakarta menjenguk mereka, sebisanya kupenuhi kebutuhan di rumahnya yang penuh kehangatan dan cinta. Bila waktu tidak memungkinkan pergi, aku berkirim paket dan ‘sangu’, masih saling bercanda lewat telepon, sampai tidak lagi bisa karena pendengaran si mbok sangat menurun.....

rindukah kau mbok?…. lama tak lihat anak yang biasa guyon (= bercanda) bersama

Tak selamanya kehidupan mulus dan rutin, tak ada yang dapat  terhindar dari liku2 dan naik turunnya ritme perjalanan hidup, termasuk aku ..... Di masa2 sulit, masih kusempatkan berkirim sangu buat si mbok, sampai setahun yang lalu, kami betul2 tidak dalam kondisi yang mampu bergerak banyak bahkan untuk memenuhi kebutuhan se hari2.....

bagaimana kabarmu mbok?…. masih ngupasi melinjo yo 

Kami hanya bisa berkirim doa dan percaya, penjagaanNya adalah jauh lebih baik dari yang bisa manusia lakukan.....

setengah tahun berlalu, kami belum mampu berdiri  kembali.....
tak terasa..... sudah 3x setengah tahun…. 

Teringat kata2 temanku; ‘segalanya pasti berlalu, seperti nafas ini'..... ya, termasuk juga kesulitan kami..... aku bangkit lagi, pertama dalam benakku; si mbok..... akhirnya…. 

Aku datang mbok !!

Mendung dan hujan deras turun sejak tiba di Yogya, tapi hatiku tidak kelabu seperti warna awan yang menyertai sepanjang perjalanan, hatiku bungah (= bahagia sekali)..... terbayang bareng si mbok selonjor ngupasi sampai jariku perih.....

Kali ini aku tinggal lebih lama di Yogya supaya dapat beberapa hari menghabiskan waktu bersama mereka.
Senangnya melihat sawah yang terpapar luas di perjalanan ke rumah tujuanku.....


Kulihat si mbok bersama teman2 sesama pengupas melinjo, sesuai dugaanku.....

Tak sabar turun dari kendaraan, aku lari kuteriakkan mboook !! kupeluk kuciumi melepas rinduku…. mana si mbok tuwo?? (= mbok tuwa; aku membahasakan kakaknya) karena hanya kudapati si mbok enom (= muda; sang adik)
Si mbok enom melihatku dengan tawanya yang khas"..... neng ayu sinten toh, kulo mboten kelingan….”(= neng siapa toh, saya tidak ingat) .....

Betapa usaha menjelaskan dan cerita siapa aku, si mbok tertawa tawa tanpa dapat mengingat siapa orang asing di depannya yang tidak berhenti bicara dan menanyakan mbakyu ne ( =kakak nya), sampai akhirnya ada yang menjawab
‘… si mbokke tes pejah '..... (si mbok sudah tiada).....

Seakan tidak mau percaya pendengaran ini, ku ulangi pertanyaanku, yang membuat hati lebih ber keping2 karena harus mendapat kembali jawaban yang sama.....

Kutata makanan kesukaan si mbok, kubawakan soto ayam dan ayam goreng, yumm yummm.... hanya dipandanginya dan berkata ‘iku opo, aku rak pernah mangan iku“…. (itu apa, saya tak pernah makan itu).....

Tentunya tak ada air mata ini menetes  di depan si mbok.....
hatiku jadi lebih kelabu dari awan yang menyelimuti siang itu, deras air mata di hatiku serasa mengalahkan curahan hujan yang setia menemani.....

Kendaraan melaju perlahan meninggalkan kediaman si mbok, yang kulihat kembali duduk selonjor, dan mulai mengupas melinjo.....

pikiranku melayang jauh.....
bahagiakah kau mbok?.....

seperti menunggu hari….  mbok2 pengupas melinjo, dalam kesederhanaan nya penuh canda tawa
sampai hari ‘Nya’ tiba.....

Selamat jalan Mbok.....

Syukur dan terimakasih atas pengrajin emping melinjo di sana yang memberi kehidupan layak bagi  mbok2 tua pengupas melinjo, kiranya Tuhan memberkati selalu.

"Sampai masa tuamu Aku tetap Dia, dan sampai masa putih rambutmu  Aku menggendong kamu . Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul  kamu dan menyelamatkan kamu."  

 Yesaya 46:4

Comments

Popular posts from this blog

Rest and Refresh Yourself

My Sweet Jambu Bol Jamaika

Planting Seeds in Life

Enjoying Bright Happy Days

A Walk In The Rain

My Sweet Petrea